MAKALAH
FARMAKOLOGI
DASAR
TERAPI ANTIDOTE
Di
susun oleh :
Dina Istiana (
M3514014 )
Fiqri Yusuf S ( M3514020 )
Haty Nurany Insani ( M3514023 )
M. Agung Adi K ( M3514031 )
Ulfa Nur Awinda ( M351405)
D3
FARMASI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan
kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dengan seizin-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Dasar Terapi Antidote” , yang merupakan salah satu tugas dari mata kuliah farmakologi I.
Tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk dapat mengetahui dan memahami tentang apa itu yang dimaksud
toksikologi dan dasar terapi antidote. Selain itu, dapat mengetahui bagaimana
mekanisme dari terapi
antidote yang dilakukan tersebut.
Dalam
menyelesaikan makalah ini penulis
telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Terutama kepada dosen
pengampu mata kuliah Farmakologi
I
yang telah memberikan tugas ini. Sehingga, penulis semakin bertambah
pengetahuan mengenai ilmu
farmakologi yang berkaitan dengan terapi antidote dan toksisitas, serta semakin
bertambah pengetahuan mengenai penulisan karangan ilmiah, dan hal ini sangat bermanfaat bagi
penulis untuk
menyusun karangan ilmiah maupun tugas akhir di kemudian hari.
Penulis
menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Namun, telah
memberikan banyak pengetahuan baru dan manfaat kepada penulis. Akhir kata dari penulis, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran yang sifatnya membangun akan penulis terima dengan senang
hati sebagai masukan untuk memperbaiki guna penyempurnaan dalam pembuatan
makalah yang akan
datang.
Surakarta,
23 Desember
2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL……………………………………………….................
i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah………………………………………………1
B. Rumusan
Masalah……………………………………………………..2
C. Tujuan
Penulisan………………………………………………………2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Toksikologi……………………………...………………...3
B. Klasifikasi
racun…………………………………………...………….3
C. Macam –
macam Uji Toksisitas ………….…………………………..5
D. Terapi antidote…………………………………………...…………...7
E. Macam- macam terapi antidote dan
mekanismenya.......……………..7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………11
B. Saran…………………………………………………………………..11
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Toksikologi adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang efek merugikan dari bahan kimia
terhadap organisme hidup. Bahan – bahan yang terkandung pada jenis obat –
obatan, baik obat modern maupun obat tradisional. Sebagian dari masyarakat
Indonesia lebih cenderung mengkonsumsi obat-obatan tanpa mengetahui ada dan
tidaknya efek toksik dari obat yang dikonsumsi. hal ini dikarenakan masih kurangnya
pengetahuan masyarakat umum tentang adanya efek toksik yang dapat ditimbulkan
dari mengkonsumsi obat selain itu juga dikarenakan minimnya jenis obat – obatan
yang telah diteliti dan diketahui kadar toksisitasnya.
Uji toksisitas sangatlah diperlukan
untuk menilai keamanan suatu obat. hal ini dilakukan untuk menghindari adanya
efek negatif yang timbul bagi kesehatan, baik efek secara langsung maupun di
masa depan. Salah satu organ pada tubuh manusia yang sangat penting adalah
hepar, hepar memiliki fungsi untuk memetabolisme semua jenis bahan obat serta
bahan-bahan asing yang masuk ke tubuh manusia, sehingga apabila terjadi proses
sekresi melalui empedu, maka akan terjadi efek toksik di dalam hepar yang
disebabkan penumpukan xenobiotik di dalam hepar.
Dal hal ini terapi antidote merupakan Merupakan tatacara yang secara
khusus ditujukan untuk membatasi intensitas (kekuatan) efek toksik zat kimia
atau menyembuhkan efek toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya,
sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya lebih lanjut. Berarti,
sasaran terapi antidot adalah pengurangan intensitas efek toksik
(Donatus,1997). Perlu dicatat, strategi terapi antidot mana yang akan diambil,
sepenuhnya bergantung pada pengetahuan atau informasi tentang rentang waktu
antara saat pemejanan bahan berbahaya, saat timbulnya gejala- gejala toksik dan
saat penderita siap menjalankan terapi. Karena pengetahuan ini diperlukan untuk
memprakirakan dominasi tahapan nasib bahan berbahaya di dalam tubuh. Misal
bahan berbahaya diprakirakan sudah terabsorpsi sempurna, maka tindakan
penghambatan absorpsi sudah tidak diperlukan. Dalam hal ini, mungkin yang
diperlukan penghambatan distribusi atau peningkatan eliminasinya. Misalnya sekarang,
bagaimana tatacara pelaksanaannya masing masing strategi tersebut (Donatus,
1997).
Ketiga strategi dasar terapi antidot
tersebut dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas atau metode yang khas.
Dimaksud dengan metode tak khas ialah metode umum yang adapat diterapkan
terhadap sebagian besar zat beracun. Metode khas ialah metode yang hanya
digunakan bila zat beracunnya telah tersidik jati dirinya serta zat antidotnya
tersedia (Donatus,1997).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari toksikologi ?
2.
Bagaimana klasifikasi racun ?
3.
Sebutkan
macam-macam uji toksisitas ?
4.
Apa yang
dimaksud dengan terapi
antidote ?
5.
Sebutkan macam- macam dasar terapi antidot dan
Mekanismenya ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
apa itu toksikologi
2.
Mengetahui macam macam racun
3.
Mengetahui
macam-macam uji toksisitas
4.
Mengetahui apa itu terapi antidote
5.
Mengetahui macam-
macam dasar terapi antidote dan
mekanismenya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Toksikologi
Toksikologi adalah Ilmu yang mempelajari efek-efek yang
tidak diinginkan dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga
membahas tentang penilaian secara kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang
sering terpajang serta efek yang di timbulkannya.
Efek toksik atau efek yang tidak
diinginkan dalam sistem biologis tidak akan dihasilkan oleh bahan kimia kecuali
bahan kimia tersebut atau produk biotransformasinya mencapai tempat yang sesuai
di dalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang cukup untuk menghasilkan
manifestasi toksik. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan
dengan situasi pemaparan (pemajanan) terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur
masuk ke dalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan.
Uji
toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem
biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data
yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya
sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat
ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia. Uji toksisitas adalah
suatu uji untuk menentukan potensial suatu senyawa sebagai racun,mengenali
kondisi biologis/lingkungan munculnyaefek toksik, dan mengkarakterisasi aksi/efek.
2.2. Klasifikasi racun
Berbagai
racun dapat diklasifikasikan berdasarkan atas berbagai hal seperti sumber,
alat, sifat kimiawi dan fisiknya, bagaimana atau kapan terbentuknya, efek
terhadap kesehatan, kerusakan organ, dan hidup atau tidaknya racun tersebut.
Klasifikasi racun dilakukan dan dipilih untuk mempermudah penelitian. Hal ini
dilakukan karena karakteristik setiap klasifikasi itu dapat sangat berbeda.
2.2.1.
Klasifikasi berdasarkan sumber
·
Sumber alamiah
·
Sumber buatan
Klasifikasi ini
bertujuan untuk membedakan racun asli yang berasalkan dari flora dan fauna dan
organisme, berbagai racun berasal dari lingkungan seperti bahan baku industri
yang beracun ataupun buangan beracun dan bahan sintetik beracun.
2.2.2.
Berdasarkan wujud
·
Padat
·
Cair
·
Gas
Gas dapat berdifusi
sehingga menyebar lebih cepat daripada cairan dan zat padat. Efek terhadap
masyarakat tentunya akan sangat berbeda. Gas dan padatan yang sangat halus akan
cepat menimbulkan efek, dan apabila konsentrasi masyarakat di tempat tersebut
padat, maka efeknya akan menjadi sangat drastis.
2.2.3.
Klasifikasi berdasarkan sifat fisika – kimia
Klasifikasi ini sering
digunakan untuk bahan beracun (B3) dan pengelompokan xenobiotic tersebut
berdasarkan B3 yang :
·
Korosif
·
Radioaktif
·
Evaporative
·
Eksplosif
·
Reaktif
2.2.4.
Klasifikasi berdasarkan terbentuknya pencemaran/ xenobiotic
Pencemaran yang
terbentuk dan keluar dari sumber disebut pencemaran primer. Selanjutnya setelah
transformasi pertama dilingkungan disebut dengan pencemaran sekunder, kemudian
dapat menjadi pencemaran tersier. Ada pencemaran yang sudah bereaksi dengan uap
air, dengan senyawa lain ataupun sudah masuk ke dalam organisme dan bereaksi
dengan protein dan sebagainya. Dengan demikian pencemaran sekunder dan
seterusnya dapat menjadi lebih toksik atau kurang toksik.
2.2.5.
Klasifikasi berdasarkan kerusakan/ organ target
Racun dapat dapat
dikelompokkan atas dasar organ yang diserangnya. Klasifikasi ini digunakan oleh
para ahli superspesialis organ target tersebut.
·
Hepatoksik atau beracun bagi hepar
·
Nefrotoksik atau beracun bagi ginjal
·
Neurotoksik atau beracun bagi saraf
·
Hematotoksik atau beracun bagi darah
·
Pheumotoksik atau beracun bagi paru-
paru
2.2.6.
Klasifikasi berdasarkan hidup matinya racun
·
Racun biotis atau biotoksin
Racun yang dai dapat pada biota disebut
biotoksin. Racun yang ada pada biota dapat berupa racun asli, yakni biota
sendiri itu beracun atau akibat kontaminasi dengan bahan beracun seperti
pencemar yang ada di media dimana ia hidup. Racun biotis atau racun yang
berasal dari benda hidup dapat berupa mikroba, tanaman dan hewan.
2.3. Macam – macam Uji Toksisitas
2.3.1 Uji
Toksisitas Akut
Uji toksisitas adalah untuk menentukan sifat akut atau kronik limbah. Pengujian
toksisitas bertujuan untuk menilai efek racun terhadap organisme, menganalisis
secara obyektif resiko yang dihadapi akibat adanya racun di lingkungan.
Toksisitas akut terjadi pada dosis tinggi, waktu pemaparan pendek dengan efek
parah dan mendadak dimana organ absorpsi dan eksresi terkena. Sedangkan
toksisitas kronis terjadi pada dosis tidak tinggi pemaparan menahun, gejala
tidak mendadak atau gradual, intensitas efek dapat parah/ tidak.Jenis uji yang
digunakan tergantung pada penggunaan zat kimia dan manusia yang terpapar.
Uji toksisitas akut dilakukan
dengan memberikan zat kimia yang diuji sebanyak satu kali, atau beberapa kali
dalam waktu 24 jam. Terdapat beberapa macam cara untuk pengujian toksisitas
akut, yaitu oral, parenteral, inhalasi, kulit dan mata. Suatu indeks untuk
mendefinisikan toksisitas akut dikenal dengan istilah LD50. Pengertian dari
LD50 adalah dosis tunggal dari suatu zat, yang diturunkan secara statistik,
yang menyebabkan kematian 50% hewan uji. Uji toksisitas akut bertujuan untuk
menyelidiki intrinsik dari suatu bahan kimia, untuk menilai jenis hewan yang
peka, menyeleksi tingkat dosis dalam penelitian lebih lanjut, dan untuk
memperoleh informasi mengenai dampak merugikan yang dapat muncul pada organ.
2.3.2. Uji
Toksisitas Subkronik :
Uji ini dimaksudkan untuk mengungkapkan berbagai efek berbahaya yang dapat
terjadi jika suatu senyawa digunakan selama waktu tertentu, selama waktu
tertentu, serta untuk menunjukkan apakah berbagai efek tersebut berkaitan
dengan dosis.
Kegunaan uji toksisitas sub-kronik adalah untuk mengetahui efek samping dan
kontraindikasi obat yang diuji. Uji ini dilakukan dengan memberikan bahan
tersebut berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama
jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan; yaitu 3 bulan untuk tikus,
dan 1 atau 2 tahun untuk anjing. Tetapi beberapa peneliti menggunakan jangka
waktu yang lebih pendek, misalnya pemberian zat kimia selama 14 dan 28 hari.
Jenis Hewan Uji
Sekurang-kurangnya digunakan dua jenis hewan, hewan pengerat dan bukan
hewan pengerat. Biasanya dapat digunakan tikus dan anjing, dari dua jenis
kelamin, sehat, dewasa, umur 5 sampai 6 minggu untuk tikus, dan 4-6 bulan untuk
anjing.
Jumlah Hewan Uji
Masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor hewan pengerat atau empat ekor
anjing untuk setiap jenis kelamin. Bila pada percobaan akan dilakukan
pengorbanan/pembedahan, maka jumlah hewan uji harus sudah dipertimbangkan
sebelumnya.
Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan tiga kelompok dosis dan satu kelompok kontrol
untuk setiap jenis kelamin. Dosis dan jumlah kelompok dosis harus cukup, hingga
dapat diperoleh dosis toksik dan dosis tidak berefek. Dosis toksik harus
menyebabkan gejala toksik yang nyata pada beberapa hewan uji dan terjadinya
kematian tidak boleh lebih dari 10%, sedang dosis tidak berefek tidak boleh
menyebabkan gejala toksik. Sebagai dosis toksik biasanya digunakan 10-20% dari
harga LD50, dengan mempertimbangkan hasil yang diperoleh pada uji pendahuluan,
tingkat dosis lain ditetapkan dengan faktor perkalian tetap 2 sampai 10.
Cara Pemberian Zat Uji
Pada dasarnya zat uji harus diberikan sesuai dengan cara pemberian atau
pemaparan yang diharapkan pada manusia. Bila diberikan secara oral, dapat
diberikan dengan cara pencekokan menggunakan sonde atau secara ad libitum di
dalam makanan atau minuman hewan. Bila zat uji akan dicampur dengan makanan
atau minuman hewan, jumlah zat uji yang ditambahkan harus diperhitungkan
berdasarkan jumlah makanan atau minuman yang dikonsumsi setiap hari.
Lama Pemberian Zat Uji
Lama pemberian zat uji selama 28 sampai 90 hari atau 10% dari seluruh umur hewan, diberikan tujuh hari dalam satu
minggu.
2.4. Terapi Antidot
Merupakan
tatacara yang secara khusus ditujukan untuk membatasi intensitas (kekuatan)
efek toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik zat kimia atau menyembuhkan
efek toksik yang ditimbulkannya, sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya
bahaya lebih lanjut. Berarti, sasaran terapi antidot adalah pengurangan
intensitas efek toksik (Donatus,1997). Seperti telah diungkapkan, keberacunan (
intensitas efek toksik) suatu bahan berbahaya diantaranya ditentukan oleh
keberadaan bahan berbahaya di tempat kerja yang melebihi harga KTM- nya lebih
lanjut, keadaan ini bergantung pada keefektifan absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi bahan berbahaya terkait. Perlu dicatat, strategi
terapi antidot mana yang akan diambil, sepenuhnya bergantung pada pengetahuan
atau informasi tentang rentang waktu antara saat pemejanan bahan berbahaya,
saat timbulnya gejala- gejala toksik dan saat penderita siap menjalankan terapi
.Karena pengetahuan ini diperlukan untuk memprakirakan dominasi tahapan nasib
bahan berbahaya di dalam tubuh. Misal bahan berbahaya diprakirakan sudah
terabsorpsi sempurna, maka tindakan penghambatan absorpsi sudah tidak
diperlukan. Dalam hal ini, mungkin yang diperlukan penghambatan distribusi atau
peningkatan eliminasinya. Misalnya sekarang, bagaimana tatacara pelaksanaannya
masing masing strategi tersebut (Donatus, 1997). Ketiga strategi dasar terapi
antidot tersebut dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas atau metode yang
khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah metode umum yang adapat diterapkan
terhadap sebagian besar zat beracun. Metode khas ialah metode yang hanya
digunakan bila zat beracunnya telah tersidik jati dirinya serta zat antidotnya
tersedia (Donatus,1997).
2.5. Macam macam terapi antidot dan
mekanismenya
2.5.1. Terapi spesifik
Terapi
antidot spesifik merupakan suatu terapi antidot yang efektif untuk satu zat
tertentu. Terapi ini dapat diklasifikasikan menjadi :
A. Antidot yang bekerja secara
kimiawi
Penggunaan
antidotum jenis ini akan menyebabkan terjadinya reaksi antara antidotum dengan
zat toksik membentuk suatu produk yang kurang toksik dan mudah disekresikan.
1. Zat-
zat pembentuk senyawa kompleks khelat
Zat pembentuk kelat biasanya
mengandung dua atau lebih gugus elektronegatifan yang membentuk kovalen
kompleks stabil dengan logam logam atau kation.. semakin banyak ikatan ligan
terbentuk, makin stabil ikatan kompleks yang terjadi dan semakin efisien proses
kelatonnya. Contoh zat – zat kelator adalah :
·
Dimerkaprol : mencegah terjadinya ikatan logam yang
bersifat racun dengan gugusan sulfidril (-SH) dalam sistem enzim.
·
Kalsium Dinatrium Edetat (CaNa2EDTA) :
diberikan dalam bentuk ikatan khelat dengan kalsium untuk mencegah pengeluaran
kalsium yang cepat dari tubuh yang dapat menimbulkan toksik.
·
Penisilamin : digunakan terhadap keracunan tembaga
atau mengurangi kadar tembaga pada penderita penyakit Wilson. Penisilamin juga
merupakan alternatif pengganti EDTA terhadap keracunan timbal dan efektif
membentuk ikatan dengan merkuri dan seng.
·
Deferoksamin : mempunyai kemampuan spesifik membentuk
ikatan khelat dengan besi. Senyawa ikatan khelat yang terjadi yaitu ferioksamin
yang larut dalam air dan dikeluarkan bersama- sama dengan urin.
2. Fab fragmen : Suatu antibodi monoklonal yang dapat mengikat digoksin
dan mempercepat sekresinya melalui filtrat
glomerulus.
3. Dikobalt Edetat : Merupakan andot pilihan
untuk menanggulangi keracunan sianida. Sianida dan dikobalt edetat akan
membentuk senyawa kompleks yang stabil dan inert, yaitu kobaltosianida dan
kobaltisianida.
4. Detoksifikasi enzimatik
Detoksifikasi enzim dapat dilakukan dengan
dua jalur dengan memberikan konsubrat pada reaksi yang terjadi dan memberikan
enzim dari luar untuk mempercepat metabolisme zat racun.
·
Etanol : digunakan terhadap keracunan metanol dan
etilen glikol. Penanggulangan keracunan metanol dapat dilakukan berdasarkan
koreksi asidosis yang terjadi, pengeluaran metanol dan metabolitmenya dengan
menguunakan etanol.
·
Atropine : memblokade efek senyawa antikolinesterase
pada reseptor muskarinik.
·
Pralidoksim : merupakan reaktivator kolinesterase.
·
N- asetilsistein dan Metionin : digunakan sebagai
antidot terhadap keracunan asetaminofen atau parasetamol. Pemberian N-
asetilsistein dan Metionin yang bertindak sebagai prekusor akan mencegah
kerusakan hati, gagal ginjal, dan kematian yang diakibatkan oleh kadar
asetaminofen yang berlebihan.
B. Antidot yang bekerja
secara farmakologi
Antidotum farmakologi adalah suatu antidotum yang bekerja mirip dengan zat
toksik. Bekerja pada reseptor yang sama atau berbeda.
1. Nalokson hidroklorida :
sebagai antagonis terhadap efek morfin dan diamorfin juga mempunyai efek
bertentangan dengan efek apomorfin, kodein, hidrokodein, dekstropropoksifen,
difenoksilat, dipipanon, metadon, pentazosin, petidin dan fenazosin.
2. Oksigen : pemberian oksigen pada keracunan sianida menghasilkan efek
oksigen yang melampaui efek sianida. Dengan demikian jika oksigen diberikan
bersama- sama dengan pemberian natrium nitrit dan natrium tiosulfat akan
menghasilkan efek sinergistik.
C. Antidot
yang bekerja sebagai antagonis fungsional.
Antidotum antagonis fungsional dapat digolongkan sebagai antidotum
nonspesifik karena berguna sebagai terapi simtomatik dan mengantagoniskan jenis
zat toksik. Sebagai contoh penggunaan diazepam untuk menghambat konvulasi dan
fasciculais yang disebabkan zat seperti organofosfat, karbamat, dan stimulant.
·
Diazepam : mempunyai senyawa aktif yang disebut
benzodiazepin. Dengan adanya interaksi biodiazepin, afinitas GABA akan
meningkat. Dengan adanya reseptor GABA saluran ion klorida akan terbuka
sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel.
Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel yang bersangkutan
dan sebagai akibatnya kemampuan sel untuk dirangsang berkurang.
2.5.2. Terapi Non Spesifik
Terapi non
spesifik merupakan terapi yang bermanfaat pada semua kasus keracunan. Cara yang
digunakan antara lain :
A.
Mengurangi absorpsi
1. Merangsang muntah ; untuk mengeluarkan racun dengan cara memuntahkan
kembali dapat digunakan antidot perangsang muntah :
·
Apomorfin : Berbahaya jika digunakan secara
sembarangan karena dapat menyebabkan depresi sistem saraf pusatdan system
pernafasan.
·
Cu- Sulfat dan Na- Klorida : Potensial berbahaya dan
sebaiknya tidak digunakan
·
Sirup Ipeca : Merupakan perangsang muntah yang aman
dan biasa digunakan. Digunakan terutama pada penderita keracunan yang
disebabkan oleh senyawa bahan kimia yang bersifat racun.
2. Menguras lambung : Efektif jika dilakukan dalam waktu 1 jam setelah
keracunan dengan menggunakan pipa nasogastrik. Meknisme kerjanya adalah degan
memasukkan agen penguras lambung (air hangat) sampai air yang keluar jernih.
·
Air hangat 1- 2 liter untuk penderita dewasa
·
Larutan garam normal 5- 10 ml/ kg berat badan untuk
anak- anak
·
Menggunakan larutan elektrolit poli etilenglikol
3. membersihkan usus menggunakan obat laksan dari senyawa garam, yaitu Mg-
Sulfat dan Na- Sulfat. Mekanisme kerjanya dapat dilakukan melalui pipa
nasogastrik.
B. Meningkatkan eliminasi
1. Dieresis Basa : Mekanisme kerjanya adalah dengan membuat urin bereaksi
basa. Dieresis basa ini dapat meningkatkan
eliminasi golongan salisilat, herbisida fenoksiasetat (asam 2,4
diklorofenoksiasetat, 2,4- D dan mecoprop) fenobarbital dan barbital. Biasanya
menggunakan larutan Na- biakrbonat 8,4 % dan diberikan sebagai infus untuk
mendapatkan pH urin lebih dari 7,5 atau yang lebih baik lagi mendekati 8,5.
2. Dieresis Asam : Mekanismenya yaitu membuat urin bereaksi asam.
3. Dosis multipel karbon aktif : Dosis multipel karbon aktif dapat
meningkatkan eliminasi obat- obat yang mempunyai volume distribusi kecil (<
1 liter/kg berat badan ), pka rendah, afinitas ikatan rendah, dan waktu paruh
yang emnajdi panjang karena overdosis.
4. Dialisis dan Hemoperfusi
Dialisis dan
Hemoperfusi : Dapat dilakukan untuk meningkatkan eliminasi racun pada penderita
dengan kadar racun dalam plasma yang tinggi dan kombinasi gejala klinik yang
parah.
Hemoperfusi
: mengalirkan darah melalui absorben yang akan mengikat obat atau racun lain.
Karbon merupakan absorben yang digunakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Toksikologi adalah Ilmu yang
mempelajari efek-efek yang tidak diinginkan dari zat- zat kimia
terhadap organisme hidup.
2.
Berbagai
racun dapat diklasifikasikan berdasarkan atas berbagai hal seperti sumber,
alat, sifat kimiawi dan fisiknya, bagaimana atau kapan terbentuknya, efek
terhadap kesehatan, kerusakan organ,
dan hidup atau tidaknya racun tersebut.
3. Pengujian toksisitas bertujuan untuk
menilai efek racun terhadap organisme, menganalisis
secara obyektif resiko yang dihadapi akibat adanya racun di lingkungan. Terdiri
dari uji toksisitas akut dan uji toksisitas subkronik.
4. Terapi antidot merupakan tatacara yang secara
khusus ditujukan untuk membatasi intensitas (kekuatan) efek toksik zat kimia
atau menyembuhkan efek toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik yang
ditimbulkannya, sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya lebih
lanjut.
5. Terapi antidot spesifik merupakan suatu terapi
antidot yang efektif untuk satu zat tertentu sedangkan terapi non spesifik
merupakan terapi yang bermanfaat pada semua kasus keracunan.
B. Saran
Perlu dicatat, strategi terapi antidot mana yang akan diambil,
sepenuhnya bergantung pada pengetahuan atau informasi tentang rentang waktu
antara saat pemejanan bahan berbahaya, saat timbulnya gejala- gejala toksik dan
saat penderita siap menjalankan terapi. Karena pengetahuan ini diperlukan untuk
memprakirakan dominasi tahapan nasib bahan berbahaya di dalam tubuh. Misal
bahan berbahaya diprakirakan sudah terabsorpsi sempurna, maka tindakan
penghambatan absorpsi sudah tidak diperlukan. Dalam hal ini, mungkin yang
diperlukan penghambatan distribusi atau peningkatan eliminasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Darmoni.
2009. Farmasi Forensik dan Toksikologi.
Jakarta :UI Press.
Donatus
Imono A. 2005. Toksikologi Dasar.
Jakarta : Depkes RI.
Klassen,
curtis.2008. Toxicology.Kansas.
Medical Publishing Division.
Sartono.2001.
Racun dan Keracunan. Jakarta: Widya
Medika.
Soemirat.2005.
Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar